Minggu, 15 Agustus 2021

Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

 

Keberhasilan seorang pemimpin dalam mengemban salah satu tugas tersulit, yaitu mengambil suatu keputusan yang efektif. Keputusan-keputusan ini, secara langsung atau tidak langsung bisa menentukan arah dan tujuan institusi atau lembaga yang dipimpin, tentunya berdampak kepada mutu pendidikan yang didapatkan murid. Paparan berikut menguraikan tentang Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran dengan sumber Modul Pendidikan Guru Penggerak.

Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup. Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini: 

  1. Individu lawan masyarakat (individual vs community)
  2. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
  3. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
  4. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term) 

Perbedaan Dilema Etika dan Bujukan Moral

Dilema Etika (benar vs benar) situasi yang terjadi ketika seseorang harus memilih antara dua pilihan dimana kedua pilihan secara moral benar tetapi bertentangan. Bujukan Moral (benar vs salah) Situasi yang terjadi ketika seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah.

Nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang mendasari pemikiran seseorang dalam mengambil suatu keputusan yang mengandung unsur dilema etika, sebagai berikut.

1. Melakukan, demi kebaikan orang banyak.

2. Menjunjung tinggi prinsip-prinsip/nilai-nilai dalam diri Anda.

3. Melakukan apa yang Anda harapkan orang lain akan lakukan kepada diri Anda

Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Ada tiga prinsip yang dapat membantu dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:

1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

Agar kita dapat mengambil keputusan dengan tepat, berikut disajikan Sembilan Langkah Pengambilan Keputusan.

1.      Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.

Kalau kita terlalu berlebihan dalam menerapkan langkah ini, dapat membuat kita menjadi orang yang terlalu mendewakan aspek moral, sehingga kita akan mempermasalahkan setiap kesalahan yang paling kecil pun. Sebaliknya bila kita terlalu permisif, maka kita bisa menjadi apatis dan tidak bisa mengenali aspek-aspek permasalahan etika lagi.  

2.      Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.

Karena dalam hubungannya dengan permasalahan moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil.

3.      Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.

Data-data tersebut penting untuk kita ketahui karena dilema etika tidak menyangkut hal-hal yang bersifat teori, namun ada faktor-faktor pendorong dan penarik yang nyata di mana data yang mendetail akan bisa menggambarkan alasan seseorang melakukan sesuatu dan kepribadian seseorang akan tercermin dalam situasi tersebut. Hal yang juga penting di sini adalah analisis terhadap hal-hal apa saja yang potensial akan terjadi di waktu yang akan datang.

4.      Pengujian benar atau salah

  • Uji Legal

Pilihannya menjadi membuat keputusan yang mematuhi hukum atau tidak, bukannya keputusan yang berhubungan dengan moral.

  • Uji Regulasi/Standar Profesional

Bila dilema etika tidak memiliki aspek pelanggaran hukum di dalamnya, mungkin ada pelanggaran peraturan atau kode etik. Anda mungkin tidak dihukum karena melanggar kode etik profesi Anda, tapi Anda akan kehilangan respek sehubungan dengan profesi Anda.

  • Uji Intuisi

Langkah ini mengandalkan tingkatan perasaan dan intuisi Anda dalam merasakan apakah ada yang salah dengan situasi ini. Apakah tindakan ini mengandung hal-hal yang akan membuat Anda merasa dicurigai.

  • Uji Halaman Depan Koran

Jika  keputusan yang ada hubungannya dengan ranah pribadi dipublikasikan pada halaman depan dari koran atau medsos dan kita merasa tidak nyaman berarti kita sedang menghadapi dilema etika.

  • Uji Panutan/Idola

Kita membayangkan apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang merupakan panutan keputusan apa yang kira-kira akan beliau ambil.

Yang perlu dicermati dari beberapa uji keputusan di atas, ada tiga uji yang sejalan dengan prinsip pengambilan keputusan yaitu:

·         Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yang tidak bertanya tentang konsekuensi tapi bertanya tentang prinsip-prinsip yang mendalam.

·         Uji halaman depan koran, sebaliknya, berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir.

·         Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking), di mana ini berhubungan dengan golden rule yang meminta Anda meletakkan diri Anda pada posisi orang lain.

Bila situasi dilema etika yang kita hadapi, gagal di salah satu atau bahkan lebih dari satu uji keputusan tersebut, sebaiknya jangan mengambil risiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan, karena situasi yang Anda hadapi bukanlah situasi dilema moral, namun bujukan moral.

5.      Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.

Dari keempat paradigma berikut ini, identifikasi paradigma mana yang terjadi di situasi ini?

·         Individu lawan masyarakat (individual vs community)

·         Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

·         Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

·         Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

Penting mengidentifikasi paradigma, ini bukan hanya mengelompokkan permasalahan namun membawa penajaman pada fokus kenyataan bahwa situasi ini betul-betul mempertentangkan antara dua nilai inti kebajikan yang sama-sama penting.

6.      Melakukan Prinsip Resolusi

Dari 3 prinsip penyelesaian dilema di bawah ini, mana yang akan sesuai?

o    Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

o    Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

o    Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

7.      Investigasi Opsi Trilema

Mencari opsi yang ada di antara 2 opsi. Mungkin akan muncul sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah kebingungan menyelesaikan masalah.

8.      Buat Keputusan

Pada akhirnya kita harus membuat keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya.

9.      Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Ketika keputusan sudah diambil, refleksikan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

 

Pengantar Pembelajaran Berdiferensiasi

 

Kita percaya bahwa anak lahir dengan keunikannya masing-masing. Sebagai pendidik, kita wajib memastikan agar setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dengan cara terbaik yang sesuai untuk mereka. Melalui praktik pembelajaran berdiferensiasi, murid tidak hanya dapat memaksimalkan potensi mereka, tapi juga dapat belajar tentang berbagai nilai-nilai kehidupan yang penting. Nilai-nilai tentang indahnya perbedaan, menghargai, makna baru dari kesuksesan, kekuatan diri, kesempatan yang setara, kemerdekaan belajar, dan berbagai nilai penting lainnya yang akan berkontribusi terhadap perkembangan diri  secara holistik/utuh. Kita harus mengetahui bagaimana proses pembelajaran berdiferensiasi ini dapat dilakukan, dengan cara-cara yang memungkinkan guru untuk dapat mengelolanya secara efektif.

Pembelajaran berdiferensiasi bukan berarti bahwa guru harus mengajar dengan cara berbeda antar semua siswa di kelasnya. Bukan pula berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat bekerja dibandingkan yang lain. Guru tidak harus mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan akademiknya. Guru tidak perlu memberikan tugas yang berbeda untuk setiap murid. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah sebuah proses pembelajaran yang merepotkan, di mana gurunya harus membuat beberapa perencanaan pembelajaran sekaligus, dimana guru harus sibuk ke sana kemari untuk membantu semua siswa secara satu persatu dalam waktu yang sama.

Apa itu pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.  Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

1.       Bagaimana guru menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Guru memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang proses pembelajaran.

2.       Kurikulum disusun dengan tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas, sehingga siswa paham tujuan pembelajaran.

3.       Penilaian berkelanjutan sehingga guru menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif, untuk memetakan tingkat keberhasilan murid.

4.       Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. Bagaimana guru akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid. Misalnya, apakah guru perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.

5.       Manajemen kelas yang efektif sehingga guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Jangan lupa buat struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif

Agar dapat membuat keputusan-keputusan yang tepat,  kita perlu melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid. Menurut Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom tertulis bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, berdasarkan 3 aspek yaitu: 1) Kesiapan belajar (readiness) murid, 2) Minat murid, dan 3) Profil belajar murid

Senin, 16 Oktober 2017

Peran Kepala Sekolah dalam Mewujudkan Komite Sekolah Bermutu





Peraturan Menteri Pendidikan  dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75  Tahun 2016 tentang Komite Sekolah (permendikbud nomor 75 tahun 2016) telah diterbitkan. Dalam peraturan ini, komite sekolah diartikan sebagai lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik,  tokoh masyarakat, dan komunitas sekolah yang peduli pendidikan. Fungsi komite sekolah adalah untuk meningkatan mutu pelayanan pendidikan.
Pelayanan pendidikan bermutu perlu dukungan komite sekolah bermutu. Dalam tulisan ini, komite sekolah dikatakan bermutu jika dipilih dan melaksanakan fungsinya sesuai dengan  permendikbud nomor 75 tahun 2016. Banyak faktor yang mempengaruhi terwujudnya komite sekolah bermutu. Tulisan ini hanya membahas peran kepala sekolah dalam mewujudkan komite sekolah bermutu di Sekolah Dasar. Peran kepala sekolah dimaksud,  yang tercantum dengan permendikbud nomor 75 tahun 2016.
Sebelum diterapkannya permendikbud nomor 75 tahun 2016, komite sekolah dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Banyak permasalahan terkait fungsi komite sekolah. Masih adanya unsur guru sebagai anggota komite sekolah memungkinkan terjadinya conflict of interest dari guru, tenaga kependidikan, penyelenggara sekolah, dan stakeholder lainnya. Peraturan ini juga belum mencantumkan nomenklatur yang tegas membedakan antara pungutan, sumbangan, dan bantuan. Hal ini membuka celah adanya pungutan berbalut sumbangan atau bantuan.
Pemerintah   menangani permasalahan pungutan liar (pungli) dengan serius. Bukti keseriusan adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Sektor pendidikan menduduki peringkat dua dari tujuh sektor pelayanan publik yang rawan pungli (data Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri). Kegiatan pungli di sekolah tentu memberatkan masyarakat kurang mampu.
Mencermati isi permendikbud nomor 75 tahun 2016, kita akan berfikir, “ini adalah angin segar untuk mewujudkan komite sekolah bermutu!”. Hal ini ada benarnya mengingat isi peraturan ini  merupakan revitalisasi komite sekolah. Beberapa poin penting dalam peraturan menteri ini yang merupakan revitalisasi komite sekolah adalah: (1) komite sekolah berperan sebagai check and balances penyelenggaraan sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan; (2) mekanisme rekrutmen dan keanggotaan komite sekolah berubah sehingga mengurangi kemungkinan adanya conflict of interest dari dewan guru dan staf, penyelenggara sekolah, serta stakeholder lainnya; (3) mekanisme akuntabilitas tentang ketersediaan dan penggunaan anggaran di sekolah yang dapat diketahui oleh seluruh stakeholders sekolah; (4) nomenklatur yang secara jelas membedakan pengertian: pungutan, sumbangan, dan bantuan; (5) kedudukan, fungsi, tugas komite sekolah semakin jelas.
Angin segar dapat menjadi hanya angin lalu jika kita tidak mampu menangkap dan memanfaatkannya. Oksigen sumber kesehatan dan kekuatan tidak kita dapatkan, karena banyak celah yang dapat membuat angin segar itu berkurang bahkan hilang.  Walaupun peraturan baik dan jelas, jika pelaksanaanya banyak penyimpangan, peraturan hanya menjadi dokumen pelengkap administrasi belaka.
Banyak pihak yang terlibat dalam  melaksanakan permendikbud nomor 75 tahun 2016. Sebagai gambaran, alur pelaksanaan peraturan menteri ini dari tingkat kabupaten/kota adalah: (1) dinas pendidikan kabupaten/kota mensosialisasikan kepada kepala dinas pendidikan kecamatan dan pengawas sekolah; (2) pengawas sekolah mensosialisasikan kepada kepala sekolah; (3) kepala sekolah mensosialisasikan kepada orangtua/wali peserta didik,  tokoh masyarakat, komunitas sekolah yang peduli pendidikan, dan warga sekolah; (4) pemilihan komite sekolah; 4) komite sekolah melaksanakan tugas.  Jika ada pihak tersebut di atas  yang tidak melaksanakan fungsi dengan baik,  dimungkinkan komite sekolah bermutu tidak akan terwujud.
Salah satu kondisi yang memprihatinkan adalah rendahnya partisipasi masyarakat terhadap proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan sekolah. Ketika diadakan rapat pleno wali murid, peserta hadir didominasi kaum perempuan dan orang tua usia lanjut. Berdasarkan hasil penelitian Balitbang Kemendiknas RI (dalam Zulkifli. 2015) tingkat partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat dalam hal dukungan pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih rendah. Partisipasi dalam hal: penentuan kebijakan program dan pengawasannya, pengembangan iklim sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan pertemuan rutin   dengan rata-rata partisipasi 57,10%. Partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik justru tinggi dalam hal: mengawasi mutu sekolah, rapat orang tua peserta didik, pembayaran dan bentuk iuran sekolah per-bulan serta pembayaran uang untuk kepentingan peserta didik baru.
Partisipasi rendah juga terjadi pada komite sekolah. Komite sekolah diharapkan memberikan kontribusi demi kemajuan sekolah, namun secara umum belum memberikan hal yang diharapkan. Komite sekolah terkesan hanya sebagai lambang pelengkap struktur organisasi, menyerahkan penyusunan kebijakan pada kepala sekolah dan menandatangani dokumen jika sudah jadi, menandatangani RAPBS dan RKAS tanpa melihat isinya..
Rendahnya partisipasi orang tua peserta didik, masyarakat, dan komite sekolah adalah realita. Antara cita dan realita terjadi ketimpangan. Sinergitas antara komite sekolah dan kepala sekolah sangat diperlukan demi terwujudnya sekolah bermutu. Menghadapi permasalahan ini, harus ada pihak yang berjuang mewujudkan  komite sekolah sebagai lembaga mandiri yang bermutu. Mencermati uraian di atas, kepala sekolah merupakan salah satu pihak yang memiliki posisi strategis  mewujudkan impian ini.
Kepala sekolah disebut sebagai salah satu pihak yang mungkin melakukan pungli. Semua aturan yang dibuat manusia pasti ada celahnya. Kepala sekolah yang kurang bertanggung jawab mungkin melakukan pungli, namun yang jujur berdedikasi tidak hanya sekedar menghindari pungli tapi akan tampil sebagai pejuang mewujudkan komite sekolah bermutu. Pejuang di sini bukan berarti tampil sendiri, tetapi sebagai motor penggerak bagi pejuang-pejuang lain dengan prinsip gotong-royong. Pihak yang dapat diajak kerjasama misalnya: pengawas sekolah, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, orang tua peserta didik,  masyarakat, dan dunia usaha/industri
Upaya kepala sekolah dalam mewujudkan komite sekolah bermutu bukanlah pekerjaan mudah. Rendahnya tingkat partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat dalam hal dukungan pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan faktor utama. Menghadapi kondisi demikian, kepala sekolah harus melakukan dua hal yaitu: (1) memfasilitasi pemilihan ulang komite sekolah berdasar permendikbud nomor 75 tahun 2016; (2) memberdayakan komite sekolah agar bermutu.
  Memfasilitasi pemilihan ulang komite sekolah dilakukan dengan langkah-langkah: (1) mensosialisasikan permendikbud nomor 75 tahun 2016; dan (2) pelaksanaan pemilihan komite sekolah. Langkah-langkah ini harus urut. Kegiatan sosialisasi permendikbud harus menjadi langkah pertama. Melalui sosialisasi ini menjadikan semua pihak yang terlibat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar sehingga dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa pihak yang menguasai materi: (1) pengawas sekolah; (2) tokoh pendidikan; (3) tokoh masyarakat; (4) orang tua peserta didik; dan (5) masyarakat. Peserta sosialisasi adalah: (1) orang tua/wali peserta didik; (2) masyarakat; (3) tokoh pendidikan;   (4) tokoh masyarakat; dan (5) kalangan dunia usaha/industri. Materi sosialisasi adalah permendikbud nomor 75 tahun 2016 dengan penekanan pada beberapa hal penting: (1) tugas dan fungsi komite sekolah; (2) makna revitalisasi komite sekolah; (3) pengertian sumbangan, bantuan, dan pungutan; (4) keanggotaan komite sekolah; dan (5) mendorong adanya kolaborasi peningkatan mutu pendidikan. Materi sosialisasi dapat disebar melalui media sosial: blog, website, facebook, dan WhatsApp.
Pembentukan ulang komite sekolah dilakukan melalui rapat orang tua/wali siswa, dipilih secara akuntabel dan bertanggung jawab. Kepala sekolah harus bersikap jujur dan bertanggung jawab dengan mengundang semua calon anggota komite sekolah berdasarkan kredibilitasnya dan sesuai aturan, bukan memilih orang-orang yang disukai. Kepala sekolah sebaiknya memusyawarahkan dengan orang tua/wali peserta didik siapa saja tokoh yang akan diundang sebagai calon anggota komite sekolah. Beberapa kriteria calon anggota komite sekolah adalah: (1) orang tua/wali siswa; (2) tokoh masyarakat, yaitu mempunyai pekerjaan dan perilaku hidup baik sebagai panutan masyarakat dan/atau anggota atau pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan; (3) pakar pendidikan, yaitu pensiunan pendidik atau orang yang berpengalaman di bidang pendidikan.  Ketentuan pemilihan harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan permendikbud nomor 75 tahun 2016. Anggota komite sekolah terpilih ditetapkan oleh kepala sekolah.
Komite sekolah yang dipilih dengan pedoman permendikbud nomor 75 tahun 2016 adalah komite sekolah yang berpotensi bermutu. Dikatakan berpotensi, karena berdasarkan penelitian, tingkat partisipasi komite sekolah rendah. Kepala sekolah berperan sebagai motor penggerak meningkatkan partisipasi anggota komite sekolah dengan prinsip gotong-royong agar menjadi komite sekolah bermutu. Beberapa hal yang perlu dilakukan kepala sekolah untuk meningkatkan partisipasi komite sekolah adalah:
1.      Menghormati
Ucapan, sikap, dan tindakan menghormati menimbulkan rasa hormat dan senang bekerja sama
2.      Bersikap jujur, disiplin, dan dedikasi tinggi
Kepala sekolah jujur, disiplin, dan berdedikasi menjadikan komite sekolah percaya dan senang bekerja sama.
3.      Membina hubungan harmonis
Hubungan kekeluargaan harmonis adalah salah satu kunci keberhasilan kerja sama. Pekerjaan berat menjadi terasa ringan.
4.      Terbuka
Keterbukaan kepala sekolah dalam program sekolah dan keuangan menimbulkan rasa saling percaya
5.      Menunjukkan sikap membutuhkan
Ekspresi sikap membutuhkan adalah sikap menghormati keberadaan orang lain, meningkatkan rasa kepedulian.
6.      Melibatkan
Melibatkan komite sekolah dalam berbagai kegiatan sekolah meningkatkan rasa ikut memiliki. Komite sekolah merasa keberhasilan sekolah sebagai keberhasilannya.
7.      Belajar bersama
Tugas komite sekolah dalam beberapa hal memerlukan pengetahuan yang mungkin kurang dikuasai, misalnya menyusun ADART. Kepala sekolah tidak berkesan menggurui tetapi seolah mengajak belajar bersama.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kepala sekolah memiliki posisi strategis dalam mewujudkan komite sekolah bermutu.  Tingkat partisipasi masyarakat, orang tua/wali siswa, dan komite sekolah rendah,  digugah oleh kepala sekolah sebagai motor penggerak dengan prinsip gotong-royong. Kepala sekolah harus memiliki niat lurus, lapang dada, berdedikasi, dan taat aturan. Komite sekolah yang dipilih dan melaksanakan fungsi sesuai permendikbud nomor 75 tahun 2016, menjadi komite sekolah bermutu. Kolaborasi kepala sekolah dengan komite sekolah bermutu meningkatan mutu pelayanan pendidikan.
Disarankan kepada para kepala sekolah agar berupaya menjadi motor penggerak pemilihan ulang komite sekolah dengan pedoman permendikbud nomor 75 tahun 2016. Mutu layanan pendidikan adalah tanggung jawab bersama, orang tua/wali siswa, masyarakat, komite sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan semua pihak agar bergotong-royong meningkatkan partisipasinya.



                                        



Daftar Pustaka


Kemendikbud. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa, Nomor 22, Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Kepmendiknas. 2002. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta.
Peraturan Presiden. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Jakarta
Permendikbud. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan  dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75  Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah. Jakarta.
Zulkifli. 2015. Komite Sekolah di antara Cita dan realita. Jurnal Potensia vol.14 Edisi 1 Januari-Juni 2015.
Girsang, CM. 2016. Komisi III-B Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan. Paparan Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan.
Widyopramono. 2017. Delik Pungutan Liar dalam Layanan Publik. Paparan Workshop yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.